petang ini, saat berbuka puasa di Ramadhan hari ke 8, entah dari mana, ibu memulai sebuah percakapan. Beliau bilang, "anak teman ibu dulu FKM Undip, terus dapet beasiswa ke Amerika, dan hari ini di wisuda".
Dan kemudian kau berucap, Ayah....Kau bilang "anak bapak gausah ambil beasiswa. Lulus S1, kerja, terus nikah aja"
Entah mengapa hatiku terasa sakit, Ayah. Kata-katamu entah mengapa terasa begitu kejam.
Ayah....
Aku...
Anakmu ini, telah merancang sebuah rencana masa depannya...
Anakmu ini, sudah memikirkan masa depannya sendiri...
Apakah itu akan kau runtuhkan, Ayah?
Apa yang salah dengan beasiswa ke luar negeri? Kau bilang ingin melihat anakmu sukses? Tapi mengapa selalu tak kau setujui inginnya? Kau selalu memaksanya berada dekat denganmu. Agar kau dapat selalu menjangkauku dengan tanganmu. Aku tau, kau bilang aku tak boleh mengambil beasiswa, itu karena kau tak mau aku jauh darimu. Tapi sampai kapan, Ayah? di saat teman-teman seusiaku sudah sering bepergian ke luar kota sendiri, aku bahkan belum pernah merasakan naik bis atau kereta sendirian.
Lalu kau bilang setelah lulus SI, kerja langsung nikah. Bagaimana itu bisa terjadi, Ayah? Bahkan untuk dekat dengan lelakipun aku tak berani karenamu. Apa kau pernah mengijinkanku dekat dengan lawan jenisku? Apa kau pernah mengijinkanku berpacaran layaknya teman-teman seusiaku, Ayah? Tak pernah! Tak pernah sekalipun. Bahkan untuk repot-repot bertanya padakupun, kau tak pernah.
Teringat saat aku berada di persimpangan jalan menuju dunia kuliah. Saat aku menimbang-nimbang, memikirkan universitas yang akan kutuju. Kau mengintervensiku. Kau bilang kau membebaskanku untuk memilih. Namun pada akhirnya, kau menggunakan berbagai cara agar aku tetap kuliah di semarang, di dekatmu. Sedangkan anganku sudah terlalu besar untuk mewujudkan citaku, yang inginku sama sekali bukan disini. Ya, kau membatasi gerakku. Aku mengalah, Ayah. Ya, aku mengalah padamu. Aku tertekan. Namun aku tak bilang. Mungkin pilihanmu memang yang terbaik untukku.
Dan kini, saat aku mulai terbiasa dan mencintai kehidupan di bidangku, aku mulai merancang masa depanku di bidangku ini. Masa depan di dunia saat ku kerja nanti, dan inginku untuk S2. Tapi, apakah ini juga akan kau hancurkan, Ayah?
Teringat lagi percakapan tentang adek yang saat ini duduk di kelas 3 SMA dan sebentar lagi juga akan menyusulku di dunia kuliah. Kau merekomendasikan sekolah-sekolah di luar kota. Hatiku hancur, Ayah. Sangat hancur. Aku, yang punya keinginan yang sangat besar untuk belajar dan terbang mengejar cita-cita, kau lemahkan otot sayapnya. Sedangkan dia, yang malas-malasan, kau suruh kesana kemari. Itu sangat menghancurkanku, Ayah...
Aku tak mengerti, Ayah.
Aku tak mengerti.
Bantu aku tuk mengerti inginmu.
Masihkah aku ada hak untuk menggenggam kehidupanku sendiri, Ayah?
sejujurnya sejak dulu aku khawatir, Ayah
Apakah untuk menentukan pendampingku kelak, kau juga akan campur tangan?
Itu membuatku takut untuk membuka hati, Ayah.
Itu membuatku takut untuk memulai sebuah hubungan dengan lawan jenisku. Hal yang sangat sudah lazim bagi teman-temanku, namun cukup tabu untukku.
Aku tak mengerti dirimu, Ayah.
Bantu aku tuk mengerti....
inginmu....
Ayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar